Selasa, 25 Juni 2013

Penerapan PHBS, Kurangi KLB di Pondok Pesantren


Pondok pesantren masih menjadi salah satu tempat yang rentan Kejadian Luar Biasa berbagai penyakit menular. Salah satunya adalah Penyakit Hepatitis A. Hal tersebut terungkap dengan adanya laporan KLB Hepatitis A di salah satu pondok pesantren di daerah Kraton, Pasuruan. Laporan W1 dari puskesmas setempat menunjukkan adanya suspek KLB Hepatitis A pada tanggal 8 Pebruari 2013. Rendahnya kebiasaan Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) menjadi salah satu penyebab utama.
Menanggapi laporan tersebut BBTKLPP Surabaya pada 9 – 10 Pebruari 2013 bersama Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, Dinas Kesehatan Kabupaten Pasuruan dan Puskesmas setempat melakukan penyelidikan epidemiologi (PE).
PE dilakukan untuk memastikan kebenaran kejadian KLB, menentukan jenis KLB, penyebab, sumber penularan, jumlah penderita, luas wilayah sebaran, dan lama kejadian KLB. Selain juga untuk mencari penderita tambahan dan melakukan intervensi guna penanggulangan  KLB  penyakit yang disebabkan virus hepatitis A (HAV) tersebut.
Kasus Hepatitis di ponpes tersebut telah terjadi selama dua bulan. Kasus pertama tercatat mulai
terjadi pada 16 Desember 2012. Berdasarkan data yang diperoleh dari balai pengobatan pondok
pesantren sampai tanggal 9 Februari 2013 telah dilaporkan sebanyak 205 suspek dengan gejala
Hepatitis A. Gejala klinis yang dialami suspek menjadi dasar penemuan kasus baik lama maupun
baru. Dikatakan suspek hepatitis A apabila:
1.  Terdapat gejala klinis (demam, mual/muntah, nafsu makan menurun) dan kenaikan titer SGOT/PT > 100.
2.  Terdapat gejala klinis ( demam, mual/muntah, nafsu makan menurun , mata kuning dan ikterus ) meskipun  tidak ada kenaikan titer SGOT/PT.
Penyelidikan KLB dilakukan secara epidemilogi deskriptif dimana penetapan KLB berdasarkan distribusi kasus menurut variabel tempat, orang dan waktu. Selain menemukan kasus, tim BBTKLPP Surabaya juga mengambil spesimen darah untuk mendapatkan kepastian diagnosa, spesimen air bersih dan air badan air untuk menemukan faktor risiko, melakukan pengamatan higiene sanitasi dan  melakukan intervensi untuk pengendalian faktor risiko lingkungan yang ditemukan.
Hasil penyelidikan menunjukkan budaya kebersihan di Ponpes yang dihuni sekitar 6650
santri putra dan putri tersebut kurang mencerminkan Pola Hidup Bersih dan Sehat. Kebiasaan yang bisa menjadi faktor risiko kejadian Hepatitis A, yaitu :
1. Kebiasaan MCK di sungai yang berada disepanjang pondok, Hal tersebut diakibatkan  jumlah Kamar mandi/jamban yang disediakan seimbang dengan jumlah santri. 
2. Kebiasan santri setelah BAB tidak mencuci tangan dengan sabun sehingga potensi penularan virus dapat terjadi.  
3. Kebiasaan minum air langsung dari kran /sumber air baku yang belum dimasak.
4. Kebutuhan makanan santri sebagian disediakan kantin/ dapur umum Pondok pesantren selebihnya tersedia warung/pkl warga yang berdiri di sekitar Pondok pesantren.
                

Hepatitis A merupakan Food and water borne disease, dimana makanan dan minuman merupakan media penularan Hepatitis A.
Tanggal 17 Desember 2012 merupakan awal kejadian/index case yang diderita seorang santri. Sebelum sakit siswa tersebut dalam satu bulan terakhir tidak bepergian, tetapi beberapa waktu sebelumnya mendapat kiriman makanan dari kunjungan orang tua sehingga kemungkinan tertular dari luar karena makanan kiriman tersebut.  Puncak
kasus terjadi pada tanggal 2 Februari 2013 berjumlah 65 kasus.
KLB hepatitis A bersifat common source (kasus yang terjadi karena paparan terhadap sumber yang sama dan umum) namun dengan adanya paparan berminggu-minggu atau hampir 2 bulan yang terjadi terus-menerus berakibat periode KLB akan bertambah lama. Hal tersebut dimungkinkan karena faktor risiko yang erat kaitannya dengan higiene dan sanitasi. Kasus terjadi 13 asrama putra. Kasus terbanyak terjadi pada asrama  J, kemudian menyebar pada asrama H, B, C, D, A, K. Kasus pertama/index case merupakan penghuni asrama J. Kebutuhan air bersih 6  asrama tersebut disuplai oleh  tandon yang sama (Gedung L) dan disediakan dalam bentuk  bak/kula yang dipakai bersama untuk mandi, cuci, dan wudhu. Perkembangan kasus terakhir pada minggu 7 - 8 menyebar ke seluruh asrama.
Distribusi kasus berdasarkan jenis kelamin menunjukkan suspek lebih banyak berjenis kelamin  laki-laki (91 %). Adapun umur 16 – 20 tahun sebanyak 88 kasus. Jumlah kasus ini bisa bertambah dengan adanya jumlah kasus yang tak tercatat (tanpa keterangan sex/umur/asal asrama).
Hasil pengujian lingkungan merupakan indikator kualitas sanitasi maupun higiene perorangan santri dan pengelola pondok pesantren.  Adapun specimen lingkungan yang diambil meliputi air bersih sebagai air baku minum dan air badan air. Hasil uji mikrobiologi pada sampel air yang diambil dari tandon di Gedung A/B berasal dari sumber air di gedung L. Hasilnya menunjukkan air telah tercemar bakteri E. Coli. Demikian pula sumber air lainnya dari sampel air yang diuji menunjukkan telah tercemar bakteri E. Coli, kecuali air dari dapur umum putra dan putri serta air sumber yang berasal dari Banad II ( Ponpes Putri ).
Keberadaan bakteri E Coli merupakan indikator pencemaran air melalui tinja. E. Coli adalah flora normal di usus besar manusia. Penyakit hepatitis A menular melalui mekanisme fecal –oral, dimana kuman dapat ditemukan pada tinja sejak 1 – 2 minggu sebelum muncul gejala dan menurun setelah gejala hilang. Proses penularan Hepatitis lebih cepat dihubungkan dengan kebiasaan seorang santri carrier/sakit hepatitis mandi bersama di sungai. Sumber penularan hepatitis A yang lain adalah makanan yang tercemar. Pencemaran dapat terjadi karena penjamah makanan , serta makanan dan minuman yang tidak dimasak. Adapun hasil pemeriksaan air badan air menunjukkan semua parameter memenuhi batas syarat air badan air kelas III.
Penyelidikan epidemiologi menunjukkan air menjadi salah satu media penularan. Oleh karena itu langkah intervensi dilakukan dengan perbaikan kualitas air yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari (MCK) para santri dengan memberikan bubuk kaporit dan Chlor Diffuser pada sumber air baku yang berfungi sebagai desinfektan. Lokasi sumber air yang diberi desinfektan antara lain dapur dan masjid.
Mencermati kebiasaan higiene sanitasi yang menjadi faktor risiko terjadinya KLB Hepatitis A, tim merekomendasikan pengawasan terhadap media penularan penyakit hepatitis (makanan dan air). Hygiene dan sanitasi terhadap pengelola makanan (PKL/warung) yang berada diluar ponpes untuk mengetahui kemungkinan adanya penyebaran penyakit diluar lingkungan pondok perlu diawasi. Perlu dilakukan pemutusan mata rantai penularan berupa pembersihan semua tandon dan pemberian kaporit dengan dosis tepat secara rutin. Merubah kebiasaan higiene sanitasi perorangan santri dan penjamah makanan perlu dilakukan dengan terus membiasakan mengkonsumsi air minum yang sudah dimasak terlebih dahulu.
Supaya kejadian di masa yang akan datang dapat dicegah perlu rencana tindak lanjut. Sistem penyediaan air yang sebelumnya menggunakan bak mandi/kolah harus dirubah dalam bentuk pancuran sehingga air terus mengalir dan berganti. Penyediaan jaringan perpipaan lengkap dengan kran tempat cuci tangan yang dilengkapi sabun  yang diletakkan di dapur, kamar mandi/jamban , tempat wudhu dan dekat sungai. Agar makanan santri lebih bersih, perlu disediakan ruangan berlantai/ubin yang layak. Penyediaan teknologi tepat guna pengolah air bersih/minum untuk mengolah sumber air baku bagi kebutuhan Ponpes, dengan mempertimbangkan kapasitas dan kontiunitas terbesar dari sumber air baku.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar